Setangkai Mawar
untuk Amanda
oleh:
Ai Umay Nurjanah
Di antara
mereka bertiga, hanya Amanda
sendiri yang belum punya pacar. Padahal
Amanda memiliki wajah yang sangat cantik. Postur tubuhnya ideal bak peragawati.
Belum lagi otaknya yang encer. Membuat pacar cewek di sekelilingnya menjadi
iri. Cowok-cowok di sekolahnya pun
berebut untuk berusaha mengambil hatinya. Tapi semua usaha yang dilakukan semua
cowok hasilnya nihil. Hal ini membuat Nasya dan Reika menjadi resah. Bukan
karena apa-apa, tapi kesendirian Amanda selalu membuat malam minggu mereka jadi
kacau. Bila tidak menelpon berjam-jam, dia akan datang ke rumah Nasya atau
Reika secara tiba-tiba. Tentu saja hal ini membuat mereka terkejut dan salah
tingkah. Bila mereka meninggalkan kekasihnya sendirian, gak enak. Bila tidak
melayani Amanda, pasti dia akan bersedih. Tidak adil kan? Masa, sewaktu mereka masih sama-sama
“lajang”, hampir setiap hari mereka main ke rumah Amanda. Apalagi selama ini
mereka bertiga selalu mengalami suka duka bersama.
Pernah
pada suatu hari Nasya mencoba untuk membuat Amanda mengerti akan semua tingkah
lakunya yang selalu membuat malam minggu dia kacau. Tapi reaksi Amanda justru
negatif. Dia merasa tersinggung dan menganggap kalau Nasya sekarang tidak ingin
lagi berteman dengan dirinya. “Huh mentang-mentang sudah punya pacar!” katanya
sambil bersungut-sungut. Nasya hanya menarik nafas panjang. Tapi setelah itu,
mereka berdua akur kembali. Hubungan mereka pun semakin erat, layaknya dua
orang sahabat yang baru dipertemukan kembali setelah sekian lama berpisah.
Cerita
Reika lain lagi. Dia pernah menanyakan pada Amanda, kenapa sampai saat ini
belum satu pun cowok yang dapat memikat hatinya.
“Gak
ada yang cocok sih,” jawab Amanda singkat.
“
Ya…Gimana gak cocok, kriteria cowok yang kamu patok itu kan terlalu kebanyakan.”
“Lho,
aku kan gak
bisa nerima cowok gitu aja?”
“Iya…Tapi
di dunia ini gak ada yang sempurna Non…Jangan terlalu banyak memilih …”
“Siapa
bilang?!” semprot Amanda.
Dan
Reika hanya bisa mencibir. Sifat Amanda yang suka “pulah-pilih” cowok memang
bukan lagi hal yang baru. Ketika Roby sang ketua OSIS menyatakan cintanya,
Amanda justru menolaknya mentah-mentah. Alasannya, karena Tubuhnya kurus dan
kurang tinggi. Sefi anak kelas XI IA 2 pun nasibnya sama. Bahkan lebih buruk
dibandingkan cowok-cowok lain yang pernah mendekati Amanda. Belum sempat Sefi
menyatakan cinta, eee…Amanda sudah lari terbirit-birit. Padahal Sefi termasuk
dalam daftar tiga orang terganteng di sekolah. Siapa yang gak bangga coba? Tapi
Amanda justru menampiknya. Alasannya karena sefi “bermata empat” dan Amanda
kurang suka sama cowok yang berkaca mata. Kalau dari dulu Sefi pakai lensa,
mungkin ceritanya bakalan lain. Hm…kasihan Sefi. Hanya puisi-puisinyalah yang
selalu menemaninya dan menghiasi majalah dinding setiap hari. Tentu saja puisi
itu ditujukan untuk Amanda, dan kebanyakan puisinya berkisar tentang kelukaan
dan kesedihan. Pokoknya, Amanda sudah membuat banyak cowok yang jatuh bangun
dan menderita karena cintanya ditolak. Mulai dari Roy, Raka, Andre, Firman, Adi, Niko, d-l-l.
Aduh… pokoknya telalu banyak dech kalo disebutin.
Alasan
penolakan Amanda pada umumnya sama. “Gak cocok!” Terlalu hitamlah, terlalu
pendeklah, terlalu pendiamlah, terlalu pemalulah, berkacamata terlalu teballah,
gak pintarlah, gak gaullah, kurang ini lah, kurang itu lah pokoknya
alasan-alasan yang sepele. Hingga Nasya dan Reika pun menjadi bosan untuk
menasehati Amanda. Sejak saat itu, Amanda dikenal dengan sebutan gadis
misterius dan menyandang gelar putri salju. Para
cowok yang pernah mendekatinya akhirnya
mundur teratur, walau dalam hati mereka masih tersimpan sekerat cinta untuk
Amanda.
* * *
Akhir-akhir ini Amanda
resah dan gelisah, karena sekarang gak satu pun cowok yang berani mendekatinya
lagi. Sering Amanda mengamati dirinya di cermin. Tapi menurutnya tidak ada satu
pun yang berubah. Wajahnya masih tetap mulus dan cantik. Gak ada tanda-tanda
kemunculan “bintang” di sana.
Bodinya juga masih tetap seksi. Tapi…kenapa ya? Huh…dia jadi iri melihat
kebahagiaan Nasya dan Reika. Dia pun merasa jenuh dan bosan dengan
kesendiriannya.
Wajah
Amanda yang terlihat murung dan berkabut, mau tidak mau membuat Nasya dan Reika
menjadi penasaran. Karena tidak seperti biasanya Amanda berwajah murung. Walau
selama ini dia belum punya pacar, tapi wajahnya selalu menunjukkan keceriaan.
Ketika bel istirahat berbunyi, Amanda pun tidak beranjak dari kursinya. Nasya
dan Reika saling bertatapan, beribu pertanyaan melonjak-lonjak di benak mereka
masing-masing. Secara bersamaan, mereka akhirnya menghampiri Amanda.
“Kenapa
Non?” tanya Reika.
“Aku
sudah memutuskan.”
“Memutuskan?
Memutuskan apa?” tanya Nasya.
“Aku
sudah memutuskan, bahwa mulai detik ini aku akan nerima cowok apa adanya.”
“Hah?
Emangnya kenapa?” tanya Reika dan Nasya hampir bersamaan.
“Lho,
kalian gak seneng ya kalau aku dapat pacar?”
“Bukan
begitu. Tapi…apa gak salah nih? Kriteria yang kamu patok itu kan banyak. Kalau nanti gak cocok gimana?”
“Ya…gak apa-apa. Seperti
yang kamu bilang, ketidakcocokan itu
adalah suatu resiko yang harus ditanggung ketika dua insan yang berbeda saling
berhubungan. Masalahnya, apa kita berani untuk mencoba mamahami perbedaan itu
atau tidak. Begitu kan?
Lagi pula aku bosan sendirian.”
“He-em…sih, tapi kamu kan lain…” timpal Reika
“Lain apanya?!”
“Ah gak, gak jadi denk.
So, rencana kamu sekarang gimana?”
“Hm…gini, aku pasti akan
nerima cowok, tapi yang pertama kali ngasih bunga mawar ke aku. Simpel kan?”
“Cuma itu?”
“Hm,”jawab Amanda enteng.
“Walaupun cowok itu
kurang tinggi, kamu tetep bakal nerima?”
“Yap”
“Kalau cowok bermata
empat?”
“No problem.”
“Kalau cowok itu gak
gaul?”
“Oh…itu bisa diatuuurr.”
“Kalau cowok itu gak
pintar?”
“Gak masyalah,”jawab Amanda
yakin.
“Kalau cowok itu kuper,
kurus, kaku, pendiem, item, gak cakep, kamu kan tetep nerima?”
“Yap.
Tapi…asal dia gak dikasih tahu oleh kalian berdua.”
“Kalau dikasih tahu?”
“Ya gugurlah.”
“Jadi…kesimpulannya, kamu
bakal nerima cowok kaya apa pun asal dia ngasih mawar ke kamu?” tanya Nasya.
“Hm…”
“Romantis banget.”
“Biarpun dia bego abis?”
timpal Reika.
“Hah, apa?!” jawab Amanda
sambil pura-pura marah dan mencubit Reika.
“Auw…” pekik Reika.
Mereka bertiga pun
akhirnya tertawa terbahak-bahak mengisi kekosongan ruangan kelas saat itu.
Tidak jauh dari sana
ada sesosok pria tersenyum bahagia. Kini, puisi-puisinya akan bertaburan dengan
bunga-bunga mawar. Siapakah dia?
* * *
Comments
Post a Comment