CERPEN "LELAKI YANG MENDERITA BILA DIPUJI" KARYA AHMAD TOHARI

  LELAKI YANG MENDERITA BILA DIPUJI Karya : Ahmad Tohari Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang bila dipuji. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, “Ini Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang.” Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, “Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar. Berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar.” Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, “Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri.” Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. “Kalau bukan Pak Mardanu

CERITA PENDEK TENTANG PEREMPUAN


Siluet Perempuan Perkasa
                                                                   oleh : Ai Umay Nurjanah, S.Pd.

            Kami sekeluarga memanggilnya Mpok Karti. Kami tidak tahu apakah nama lengkapnya Kartika atau Kartini. Yang kami tahu, bila hari telah mulai senja Mpok Karti beserta mobil bak terbukanya akan datang ke kios kami dengan membawa barang yang telah kami pesan sebelumnya. Saya pribadi tidak pernah tahu dan sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa Mpok Karti memilih jadi supir angkut dibandingkan dengan pekerjaan yang lain, misalnya menjadi pembantu rumah tangga atau berjualan lotek. Ya .... Setidaknya pekerjaan tersebut lebih cocok disandang oleh perempuan dibanding jadi supir angkut. Benar tidak?
            Terkadang, timbul keinginan dari dalam hati saya untuk bisa berbicara dan mengobrol dengannya. Tapi rupanya dia terlalu sibuk, dia tidak pernah berlama-lama berada di kios kami. Setelah tugasnya selesai, dia buru-buru berpamitan dan langsung tancap gas. Mungkin akan mengantarkan lagi barang yang sudah dipesan orang lain. Dan saya tidak bisa mencegah kepergiannya. Perlahan timbul rasa kagum terhadap perempuan perkasa itu.
***
            Akhir-akhir ini saya merasa udara semakin panas walaupun hari sudah hampir senja. Inilah akibatnya jika paru-paru kota ditebang seenaknya tanpa memperhatikan dampak yang akan timbul. Saya masih ingat. Dulu, ketika saya masih kecil kota ini dipenuhi oleh pohon-pohon yang hijau nan rindang, bunga pun menghias hampir di setiap sudut kota dan sawah yang menghampar luas. Tidak salah kalau kota ini dikenal dengan julukan kota kembang. Tapi sekarang, semuanya sudah berubah seperti halnya waktu yang terus bergulir dan meninggalkan manusia tanpa jejak. Kini kota ini dipenuhi mobil-mobil hingga timbul kemacetan di mana-mana. Trotoar sekarang dipenuhi oleh pedagang kaki lima dan sampah-sampah  menghias hampir di setiap sudut kota. Tak ketinggalan sawah-sawah pun disulap menjadi swalayan dan factory outlet.
            Di saat saya sedang merenung, di tengah hawa panas yang mendera tiba-tiba saya melihat siluet Mpok Karti yang melintas bersama mobil angkutnya di jalan. Hari ini memang tidak ada barang yang harus diantarkan ke kios kami, karena barang-barang yang kemarin pun belum habis terjual. Imbasnya,sudah dapat dipastikan kami tidak akan memesan barang apa pun selama tiga hari ini. Tapi ngomong-ngomong Mpok Karti mau pergi kemana ya? Kupandangi siluet Mpok Karti yang semakin menjauh.
***
            Suatu hari, ketika senja mulai menjelang, Mpok Karti mendatangi kios kami. Kedatangan Mpok Karti tentu saja membuat saya heran, karena tidak biasanya dia datang ke kios kami tanpa membawa mobilnya. Lagipula hari ini tidak ada barang yang harus diantarkan. Mungkin besok saya akan memesan barang lagi. Tapi, kenapa Mpok Karti datang sekarang ya? Tidak membawa mobil lagi.
            “Begini Bu Aish, kedatangan saya ke sini tidak lain hanya untuk berpamitan, jadi besok saya tidak bisa mengangkut barang yang ibu pesan. Mungkin Ibu bisa mencari supir lain untuk sementara,” ujar Mpok Karti. Sepertinya ia menangkap keherananku.
            “Lho, memangnya mau kemana Mpok?” Rasa heran saya kini bertambah. Mpok Karti membalas dengan sebuah senyuman. Sungguh, selama saya mengenal Mpok Karti, saya belum pernah melihat senyuman seperti itu. Tanpa sadar, saya terkejut melihat sosok yang ada di hadapan saya. Bagaimana tidak, yang saya ingat, Mpok Karti yang menjadi supir angkut barang adalah sosok orang yang pendiam. Kulitnya agak hitam dan sekilas tampak kekar dengan badan yang agak tinggi. Ia juga selalu berpakaian simpel dengan memakai jeans belel dan kaos yang agak gombrang. Tapi, sosok Mpok Karti yang ada di hadapan saya menjadi lain. Sekarang, ia memakai rok panjang warna hitam dipadu dengan baju bermotif bunga-bunga kecil yang tampak serasi. Walaupun kulitnya masih agak hitam, namun sekarang terlihat bersih seperti ada cahaya yang memancar dari matanya.
            “Ehm, Bu Aish ngomong-ngomong apa bapaknya ada?” Mpok Karti berdehem, hingga membuat saya terlonjak kaget. Saya merasa tertangkap basah karena telah memperhatikan dia lekat-lekat.
            “Oh, bapak sedang pergi ke luar. Sebenarnya Mpok Karti mau pergi kemana, sampai berpamitan segala.” Saya mengulang pertanyaan yang sempat terlupakan itu.
            “Begini Bu, besok saya akan pergi ke Jakarta untuk menghadiri wisuda anak saya.”
            “Wisuda? Memangnya anak Mpok Karti kuliah dimana?”
            “Anak saya kuliah di UI Bu, mengambil kedokteran dan katanya akan wisuda besok lusa.”

            “Wah...Mpok memang betul-betul hebat. Walaupun dengan profesi yang sekarang Mpok sandang, tapi Mpok masih mampu menyekolahkan anak tinggi-tinggi.”
            “Supir angkut masud Ibu?” Mpok Karti menjawab sambil tertawa renyah. Sekali lagi saya dikejutkan. Baru pertama kali ini saya melihat Mpok Karti tertawa seperti itu. Benar kata orang, jangan melihat sesuatu dari luarnya saja. Buah kedondong yang dari luar terlihat mulus, di dalamnya ternyata berambut. Sedangkan buah rambutan yang dari luar berambut, eh... di dalamnya mulus. Sama seperti manusia, memang orang sulit ditebak. Mpok karti yang dulu terlihat pendiam dan jarang tertawa itu, kini menjadi sosok yang lain. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh luapan rasa gembiranya terhadap anaknya yang akan diwisuda. Setelah tawanya berhenti, Mpok Karti melanjutkan pembicaraanya.
            “Ya...Apa boleh buat Bu, suami saya telah meninggal lima tahun yang lalu. Ketika anak saya masih duduk di bangku SMA kelas tiga. Dulu, suami saya ingin sekali anak kami satu-satunya menjadi seorang dokter. Dan Alhamdulillah,  ketika anak saya lulus SMA ia mendapatkan beasiswa dan masuk perguruan tinggi tanpa seleksi. Lalu kenapa saya memilih menjadi seorang supir?” Mpok karti diam sejenak dan memandang langit-langit kios hingga akhirnya dia berbicara lagi dan menatap saya dengan pandangan yang hangat.
            “Saya menjadi supir, karena saya senang berada dibelakang setir. Saya merasa jika saya sedang mengemudi saya dapat mengatur hidup saya sendiri, saya merasa menjadi seorang penguasa yang mampu mengendalikan dan memilih jalan yang akan saya ambil. Dengan mengemudi, saya juga menjadi tahu kemana arah yang hendak saya cari. Terkadang saya sering berpikir bahwa hidup ini tidak berbeda dengan mengemudi. Hidup di dunia bagai sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan. Seperti halnya ketika saya sedang mengemudi, saya mempunyai tujuan untuk mengantarkan barang yang sudah dipesan. Dalam perjalanan tersebut tentu saja saya mengalami godaan dan rintangan. Misalnya terjebak macetlah atau mobil mogok. Di tengah kemacetan itu, saya harus ekstra sabar dan berusaha jangan sampai barang yang saya antar jadi rusak sebelum sampai pada tujuan. Begitu pun dengan kehidupan yang kita jalani. Dengan kata lain, kita hidup  menunggu mati. Dan dalam perjalanan tersebut tentunya ada godaan dan rintangan yang selalu menanti. Benar tidak Bu?”
            “E...Iya.” Saya benar-benar terkesima oleh kata-kata Mpok Karti.
            “Em...Maaf Bu, kelihatannya hari sudah hampir maghrib. Saya undur diri, sampaikan salam saya pada bapak.”
            “Lho, kok buru-buru? Sholat maghrib di sini saja.”
            “Terima kasih Bu, mungkin lain kali. Malam ini saya mau siap-siap untuk pergi besok.”
            “Baiklah kalau begitu sampaikan salam saya pada anak Mpok ya?”
            “Terima kasih. Mari Bu.”
            “Ya...”
            Tak terasa senja telah lekang Mpok Karti melangkahkan kakinya meninggalkan kios. Sekali lagi, timbul rasa kagum di hati saya. Bahkan semakin bertambah. Sejenak saya berpikir, inikah yang namanya emansipasi?
            Kulihat Mpok Karti sedang naik mobil angkutan umum. Aku memandangnya sampai ia menjauh dan tampak seperti siluet. Siluet seorang perempuan perkasa.
















Comments

Popular posts from this blog

KAIDAH KEBAHASAAN TEKS ANEKDOT

Kaidah Kebahasaan Teks Drama

LATIHAN SOAL PAS SEM 1