Siluet Perempuan Perkasa
oleh : Ai Umay Nurjanah, S.Pd.
Kami
sekeluarga memanggilnya Mpok Karti. Kami tidak tahu apakah nama lengkapnya
Kartika atau Kartini. Yang kami tahu, bila hari telah mulai senja Mpok Karti beserta
mobil bak terbukanya akan datang ke kios kami dengan membawa barang yang telah
kami pesan sebelumnya. Saya pribadi tidak pernah tahu dan sering bertanya-tanya
dalam hati, mengapa Mpok Karti memilih jadi supir angkut dibandingkan dengan
pekerjaan yang lain, misalnya menjadi pembantu rumah tangga atau berjualan
lotek. Ya .... Setidaknya pekerjaan tersebut lebih cocok disandang oleh
perempuan dibanding jadi supir angkut. Benar tidak?
Terkadang,
timbul keinginan dari dalam hati saya untuk bisa berbicara dan mengobrol
dengannya. Tapi rupanya dia terlalu sibuk, dia tidak pernah berlama-lama berada
di kios kami. Setelah tugasnya selesai, dia buru-buru berpamitan dan langsung
tancap gas. Mungkin akan mengantarkan lagi barang yang sudah dipesan orang
lain. Dan saya tidak bisa mencegah kepergiannya. Perlahan timbul rasa kagum
terhadap perempuan perkasa itu.
***
Akhir-akhir
ini saya merasa udara semakin panas walaupun hari sudah hampir senja. Inilah
akibatnya jika paru-paru kota ditebang seenaknya tanpa memperhatikan dampak
yang akan timbul. Saya masih ingat. Dulu, ketika saya masih kecil kota ini
dipenuhi oleh pohon-pohon yang hijau nan rindang, bunga pun menghias hampir di
setiap sudut kota dan sawah yang menghampar luas. Tidak salah kalau kota ini
dikenal dengan julukan kota kembang. Tapi sekarang, semuanya sudah berubah
seperti halnya waktu yang terus bergulir dan meninggalkan manusia tanpa jejak.
Kini kota ini dipenuhi mobil-mobil hingga timbul kemacetan di mana-mana.
Trotoar sekarang dipenuhi oleh pedagang kaki lima dan sampah-sampah menghias hampir di setiap sudut kota. Tak
ketinggalan sawah-sawah pun disulap menjadi swalayan dan factory outlet.
Di
saat saya sedang merenung, di tengah hawa panas yang mendera tiba-tiba saya
melihat siluet Mpok Karti yang melintas bersama mobil angkutnya di jalan. Hari
ini memang tidak ada barang yang harus diantarkan ke kios kami, karena
barang-barang yang kemarin pun belum habis terjual. Imbasnya,sudah dapat
dipastikan kami tidak akan memesan barang apa pun selama tiga hari ini. Tapi
ngomong-ngomong Mpok Karti mau pergi kemana ya? Kupandangi siluet Mpok Karti
yang semakin menjauh.
***
Suatu
hari, ketika senja mulai menjelang, Mpok Karti mendatangi kios kami. Kedatangan
Mpok Karti tentu saja membuat saya heran, karena tidak biasanya dia datang ke
kios kami tanpa membawa mobilnya. Lagipula hari ini tidak ada barang yang harus
diantarkan. Mungkin besok saya akan memesan barang lagi. Tapi, kenapa Mpok
Karti datang sekarang ya? Tidak membawa mobil lagi.
“Begini
Bu Aish, kedatangan saya ke sini tidak lain hanya untuk berpamitan, jadi besok
saya tidak bisa mengangkut barang yang ibu pesan. Mungkin Ibu bisa mencari
supir lain untuk sementara,” ujar Mpok Karti. Sepertinya ia menangkap
keherananku.
“Lho,
memangnya mau kemana Mpok?” Rasa heran saya kini bertambah. Mpok Karti membalas
dengan sebuah senyuman. Sungguh, selama saya mengenal Mpok Karti, saya belum
pernah melihat senyuman seperti itu. Tanpa sadar, saya terkejut melihat sosok
yang ada di hadapan saya. Bagaimana tidak, yang saya ingat, Mpok Karti yang
menjadi supir angkut barang adalah sosok orang yang pendiam. Kulitnya agak
hitam dan sekilas tampak kekar dengan badan yang agak tinggi. Ia juga selalu
berpakaian simpel dengan memakai jeans belel dan kaos yang agak
gombrang. Tapi, sosok Mpok Karti yang ada di hadapan saya menjadi lain.
Sekarang, ia memakai rok panjang warna hitam dipadu dengan baju bermotif
bunga-bunga kecil yang tampak serasi. Walaupun kulitnya masih agak hitam, namun
sekarang terlihat bersih seperti ada cahaya yang memancar dari matanya.
“Ehm,
Bu Aish ngomong-ngomong apa bapaknya ada?” Mpok Karti berdehem, hingga membuat
saya terlonjak kaget. Saya merasa tertangkap basah karena telah memperhatikan
dia lekat-lekat.
“Oh,
bapak sedang pergi ke luar. Sebenarnya Mpok Karti mau pergi kemana, sampai
berpamitan segala.” Saya mengulang pertanyaan yang sempat terlupakan itu.
“Begini
Bu, besok saya akan pergi ke Jakarta untuk menghadiri wisuda anak saya.”
“Wisuda?
Memangnya anak Mpok Karti kuliah dimana?”
“Anak
saya kuliah di UI Bu, mengambil kedokteran dan katanya akan wisuda besok lusa.”
“Wah...Mpok
memang betul-betul hebat. Walaupun dengan profesi yang sekarang Mpok sandang,
tapi Mpok masih mampu menyekolahkan anak tinggi-tinggi.”
“Supir
angkut masud Ibu?” Mpok Karti menjawab sambil tertawa renyah. Sekali lagi saya
dikejutkan. Baru pertama kali ini saya melihat Mpok Karti tertawa seperti itu.
Benar kata orang, jangan melihat sesuatu dari luarnya saja. Buah kedondong yang
dari luar terlihat mulus, di dalamnya ternyata berambut. Sedangkan buah
rambutan yang dari luar berambut, eh... di dalamnya mulus. Sama seperti
manusia, memang orang sulit ditebak. Mpok karti yang dulu terlihat pendiam dan
jarang tertawa itu, kini menjadi sosok yang lain. Mungkin hal ini dipengaruhi
oleh luapan rasa gembiranya terhadap anaknya yang akan diwisuda. Setelah
tawanya berhenti, Mpok Karti melanjutkan pembicaraanya.
“Ya...Apa
boleh buat Bu, suami saya telah meninggal lima tahun yang lalu. Ketika anak
saya masih duduk di bangku SMA kelas tiga. Dulu, suami saya ingin sekali anak
kami satu-satunya menjadi seorang dokter. Dan Alhamdulillah, ketika anak saya lulus SMA ia mendapatkan
beasiswa dan masuk perguruan tinggi tanpa seleksi. Lalu kenapa saya memilih
menjadi seorang supir?” Mpok karti diam sejenak dan memandang langit-langit
kios hingga akhirnya dia berbicara lagi dan menatap saya dengan pandangan yang
hangat.
“Saya
menjadi supir, karena saya senang berada dibelakang setir. Saya merasa jika
saya sedang mengemudi saya dapat mengatur hidup saya sendiri, saya merasa
menjadi seorang penguasa yang mampu mengendalikan dan memilih jalan yang akan
saya ambil. Dengan mengemudi, saya juga menjadi tahu kemana arah yang hendak
saya cari. Terkadang saya sering berpikir bahwa hidup ini tidak berbeda dengan
mengemudi. Hidup di dunia bagai sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan.
Seperti halnya ketika saya sedang mengemudi, saya mempunyai tujuan untuk
mengantarkan barang yang sudah dipesan. Dalam perjalanan tersebut tentu saja saya
mengalami godaan dan rintangan. Misalnya terjebak macetlah atau mobil mogok. Di
tengah kemacetan itu, saya harus ekstra sabar dan berusaha jangan sampai barang
yang saya antar jadi rusak sebelum sampai pada tujuan. Begitu pun dengan
kehidupan yang kita jalani. Dengan kata lain, kita hidup menunggu mati. Dan dalam perjalanan tersebut
tentunya ada godaan dan rintangan yang selalu menanti. Benar tidak Bu?”
“E...Iya.”
Saya benar-benar terkesima oleh kata-kata Mpok Karti.
“Em...Maaf
Bu, kelihatannya hari sudah hampir maghrib. Saya undur diri, sampaikan salam
saya pada bapak.”
“Lho,
kok buru-buru? Sholat maghrib di sini saja.”
“Terima
kasih Bu, mungkin lain kali. Malam ini saya mau siap-siap untuk pergi besok.”
“Baiklah
kalau begitu sampaikan salam saya pada anak Mpok ya?”
“Terima
kasih. Mari Bu.”
“Ya...”
Tak
terasa senja telah lekang Mpok Karti melangkahkan kakinya meninggalkan kios.
Sekali lagi, timbul rasa kagum di hati saya. Bahkan semakin bertambah. Sejenak
saya berpikir, inikah yang namanya emansipasi?
Kulihat
Mpok Karti sedang naik mobil angkutan umum. Aku memandangnya sampai ia menjauh
dan tampak seperti siluet. Siluet seorang perempuan perkasa.
Comments
Post a Comment