Janjiku
oleh : Ai Umay Nurjanah
Terik
matahari membakar ubun-ubun. Pantulan sinarnya yang panas dari aspal serasa menampar-nampar wajahku. Sekuat
tenaga kuseret kedua kakiku yang perih dan kupandangi sepatu hitam usang yang
membungkus kedua kaki itu lekat-lekat. Terbayang di pelupuk mata, jemari-jemari
kakiku sudah memerah tanpa ampun, berontak mencari kebebasan.
Perjalananku kali ini memang sangat banyak menyita waktu dan tenaga.
Bagaimana tidak? Untuk bisa sampai ke kota Sukabumi ini, aku harus menempuh
perjalanan dengan rela terombang-ambing di bus ekonomi yang penuh sesak. Selain
itu, aku juga harus naik angkutan umum dengan menempuh medan yang cukup berat
untuk sampai ke tempat tujuanku, karena rumahku berada di Sukabumi bagian selatan. Jaraknya kurang lebih
80 km lagi dari kota. Namun meski lelah, aku harus tetap melangkah. Itu karena
hari ini aku akan menemui ibuku, setelah empat tahun lamanya kutinggalkan demi
meraih cita-cita untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.
Bukannya selama empat tahun ini aku tak ingin pulang, tapi ibu selalu saja melarang.
Dia hanya berpesan agar aku belajar dengan baik, lulus cepat, dan mengantongi
ijazah dengan mendapatkan nilai yang bagus. Tidak boleh pulang atau pun minta
dijenguk sampai tamat kuliah. Dan aku pun menurutinya. Karena ibu paling tidak
suka dibantah.
Tak terasa waktu pun terus saja berjalan, hingga mengantarkanku ke
penghujung tahun ini. Kini aku telah tamat kuliah. Ku pegang erat-erat ijazah
yang ada di balik tas coklat berumbai-rumbai itu (hadiah terakhir yang
diberikan bapak untukku sebelum dia meninggal). Betapa bahagianya aku saat membayangkan wajah ibu
yang tersenyum manis saat kuperlihatkan ijazahku ini. Teringat ibu, aku
mempercepat langkah kaki. Tak peduli dengan terik matahari yang semakin membakar
ubun-ubun ataupun jemari kaki yang lecet memerah kena sepatu. Aku harus
cepat-cepat menemukan angkutan umum.
***
Lewati perjalanan, naik gunung turun gunung. Jalan
meliuk-liuk seperti ular. Tak ada satu pun yang berubah. Bahkan jalanan rusak
penuh lubang yang pernah kulewati empat tahun yang lalu itu masih tetap sama, membuatku
beberapa kali sedikit terlempar dari kursi. Kebun teh, pohon pinus dan pohon karet saling
berkejaran. Ku dengar ada bunyi burung tuit di tepi hutan, entah bertengger di
ranting karet yang mana. Menyeret ingatanku ke masa empat tahun yang lalu saat
aku berada di penghujung kelas 3 SMA. Samar-samar kudengar kembali suara berat
ibuku waktu itu.
” Kamu harus kuliah, Nur!” Ku tatap wajah ibu, ia tidak melihatku sama
sekali. Sibuk dengan bawang merah yang sedang digorengnya.
” Tidak usah bu, Nur membantu ibu berjualan saja.”
Tiba-tiba ibu memadamkan
api. Setengah loncat, ia menghampiri dan menatapku lekat-lekat. Sambil
memegangi wajahku, ia berkata, ” Tidak. Apapun yang terjadi kau harus kuliah. Itu yang diinginkan bapakmu saat dia masih hidup. Mengerti?”
Aku terkesima mendengar perkataan ibu. Tak menyangka akan mendapat reaksi
seperti itu. Ku telusuri mata ibu dalam-dalam. Ada samudera keteguhan di sana
yang tak mungkin tergoyahkan lagi. Namun, kulihat juga ada gumpalan sedih yang
membisu di ujung samudera itu. Ku pegang kedua telapak tangan ibu yang menempel
di pipi. Kemudian kubimbing mereka ke atas pangkuanku untuk menenangkannya.
” Uang darimana Bu? Biaya kuliah itu tidak sedikit, sedangkan kita tidak
punya apa-apa lagi setelah bapak meninggal, kita tidak akan mampu melewatinya
Bu. Sekarang biarkan Nur membantu ibu berjualan saja. Nur akan... ”
” Kamu jangan khawatir. Ibu akan mengusahakannya. Yang penting kamu belajar
saja. Lulus tes ujian masuk perguruan tinggi negeri. Bukankah waktu itu kamu juga pernah bilang ingin
menjadi seorang guru? Masalah uang serahkan pada ibu.” Kata-kata ibu membuat
darahku tiba-tiba berdesir. Ya, itu memang cita-citaku. Tapi itu saat bapak
masih hidup dan punya penghasilan cukup. Sekarang, bagaimana mungkin ibu bisa
menutupi kebutuhan kuliahku nanti dengan penghasilan yang pas-pasan dari hasil
jualan nasi uduk? Apalagi dengan kebutuhan adikku Lastri yang sekarang ini
duduk di bangku SMP kelas 1. Tergambar jelas dalam benakku ibu akan bersusah
payah membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya kuliahku
nanti. Aku tidak mau. Aku tidak ingin melihat ibu berusaha tersenyum di balik
wajah letihnya itu lagi. Menanggung segala susah setelah bapak meninggal.
Dengan jerih payahku aku ingin membantu ibu meringankan beban yang selama ini
ia tanggung sendiri. Aku ingin melihat ibu tersenyum bahagia seperti dulu.
Namun, saat mulutku hendak terbuka, ibu buru-buru beranjak pergi. Sambil
berlalu ia berkata, ” Jangan membantah! Lakukan ini demi ibu, bapak dan adikmu!”
Saat itu, aku tak mampu berkata-kata lagi. Hanya diam membisu menatap
kepergian ibu. Ia kemudian meneruskan menggoreng bawang merah untuk berjualan
nasi uduk esok nanti. Kulihat
pundaknya sedikit bergetar. Kutahu ibu menyimpan kepedihan yang teramat dalam
di hatinya. Tak kusadari, mataku pun mulai basah.
***
Ini adalah cerita lama. Kutahu karena semua orang pun tahu. Dulu ibu adalah
anak orang kaya. Bapaknya punya lahan ratusan hektar. Sebagian pohon pinus dan
pohon karet di pinggir jalan yang kulewati tadi konon punya bapaknya yang tak
lain adalah kakekku. Ibuku mempunyai empat orang saudara, yang saat ini pun
sudah kaya raya. Hanya ibu yang hidup pas-pasan. Setelah ibu memilih bapakku
sebagai suaminya, ia dibuang oleh kakekku yang kaya itu. Pernikahan mereka
memang tidak mendapatkan restu dari kakek.
Alasannya sangat klise, bapakku dianggap tidak sederajat dengan ibu.
Karena ia pemuda miskin yang hanya berasal dari keluarga petani biasa. Tapi hal
itu tidak menyurutkan keteguhan hati ibu. Demi cintanya pada bapak, ia meninggalkan segala
kemewahan yang diberikan keluarganya. Setelah berkeluarga, bapak dan ibu bahu
membahu membuka usaha di pasar, dengan sedikit modal mereka menjual
sayur-mayur. Saat itu bapak belum punya kios, mereka berjualan ngampar di pinggir jalan depan pasar. Namun
karena tekad dan kerja keras, akhirnya usaha bapak mengalami kemajuan. Hingga kehidupan
kami pun sedikit demi sedikit mulai membaik. Dari hasil berjualan sayuran itu,
bapak akhirnya bisa membeli kios yang layak di dalam pasar dan memberikan kami
rumah. Setelah hampir sepuluh
tahun lamanya kami tinggal di rumah panggung milik orang tua bapakku. Saat itu
aku sangat bahagia karena memiliki rumah baru yang tidak lagi berlantaikan
papan.
Kebahagiaan kami saat itu memang tak bisa kugambarkan lagi dengan
kata-kata. Karena yang paling kuinginkan di dunia ini aku sudah miliki
semuanya. Ada bapak dan ibu yang menyayangiku dan ada adik yang aku kasihi.
Kami semua saling mencintai. Tak pernah sekalipun kudengar pertengkaran di
rumah, yang ada hanyalah gelak tawa dan bahagia. Mungkin seperti itulah rasanya
surga.
Dari tahun ke tahun usaha bapakku semakin
mengalami kemajuan. Karena doa dan kerja kerasnya, bapak akhirnya bisa membeli
kendaraan bermotor roda dua dan empat, juga beberapa petak sawah di beberapa
tempat. Tentu saja kami sekeluarga senang dengan semua ini. Namun tidak bagi
yang lain. Mendadak bapakku jatuh sakit setelah semalaman ia terus mengigau
karena mendapat mimpi aneh. Aku tahu karena paginya bapak bercerita kalau di
mimpinya ada harimau betina bertanduk hitam yang sudah akan menerkamnya dengan
mata merah yang menyala. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas 1 SMA. Aku
tidak percaya mimpi. Karena bagiku mimpi hanyalah bunga tidur. Namun sejak
bapak mendapat mimpi aneh itu, setiap malam bapak tidak bisa tidur dan selalu
demam tinggi. Akhirnya ibu membawa bapak ke rumah sakit terdekat. Dari hasil
pemeriksaan dokter, bapakku ternyata tidak mengidap penyakit apa pun. Dokter
menyatakan ia sehat. Hal ini yang membuat kami kebingungan.
Sepulang dari rumah sakit, keadaan bapak semakin parah. Karena itu,
akhirnya kami pergi ke rumah sakit yang ada di kota. Berharap ada keajaiban di
sana. Berbeda dengan rumah sakit yang dulu, dokter mendiagnosis bapakku
mengidap penyakit flu tulang. Entah apa maksudnya itu. Sudah puluhan kali kami pulang
pergi ke sana, namun ternyata hasilnya tetap saja sama. Malah bapakku tak bisa
menggerakkan lagi kedua kakinya. Hal ini membuat kami semua gelisah. Penyakit
bapak yang tak bisa disembuhkan pun tersebar kemana-mana. Tetanggaku
menyarankan untuk pergi ke orang pintar.
Tentu saja hal ini awalnya ditolak mentah-mentah oleh ibu. Karena hal
itu bertentangan dengan keyakinan kami. Namun karena segala usaha ibu pergi ke
dokter tidak membuahkan hasil, akhirnya kami mencoba juga saran dari tetanggaku
itu.
Orang pintar itu tinggal di atas bukit. Untuk bisa sampai ke rumahnya, kami
harus berjalan sekitar 7 km dari jalan utama. Melewati jalan setapak yang dipenuhi batu cadas terjal. Menurut orang pintar yang kami temui, ternyata
bapak telah diguna-guna oleh orang yang iri terhadap keberhasilan bapak selama
ini. Untuk bisa sembuh, ibu harus mandi kembang 7 rupa pada tengah malam,
menyerahkan rokok, kopi pahit, ayam kampung berwarna hitam dan segala tetek
bengeknya, kepada orang pintar itu untuk diberi mantra. Meski aku tak setuju
dengan apa yang sudah dilakukan ibu, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Hari
itu juga ibu memenuhi persyaratan dari mbah dukun. Esoknya bapakku malah muntah
darah. Akhirnya ibu membawa bapak lagi ke dokter.
Kini hampir dua tahun bapakku sakit. Segala cara sudah kami lakukan. Ke
dokter, minum berbagai ramuan jamu, orang pintar, kiyai, sampai pengobatan
alternatif sudah kami lakukan. Semua harta yang pernah kami miliki sebelumnya,
akhirnya terpaksa ibu jual demi kesembuhan bapak. Yang tersisa hanyalah rumah
yang jadi tempat bernaung kami sekeluarga saat ini. Namun bapak belum juga
sembuh. Dari hari ke hari
kondisi badannya menurun drastis. Saat itu ibu putus asa. Kami sudah tidak
punya apa-apa lagi. Jangankan untuk pergi berobat, untuk makan sehari-hari saja
sudah terasa sulit. Minta
bantuan kakek nenek dari pihak bapak tidak mungkin, karena mereka pun sama-sama
hidup prihatin. Akhirnya ibu
memberanikan diri pulang ke rumahnya, setelah belasan tahun ia tinggalkan.
Pagi-pagi sekali, bersama dengan ibu, aku pergi menemui kakek. Ternyata
rumah kakekku tidaklah terlalu jauh, tepat berada di Pelabuhan Ratu. Hanya menempuh perjalanan sekitar dua jam,
kami sudah bisa sampai ke rumahnya. Rumah itu nyaris seperti istana. Amat
megah. Namun begitu angkuh. Ibu menggenggam tanganku, kurasakan badannya
bergetar. Ku coba kuatkan dirinya dengan melemparkan senyum, namun sia-sia. Ia hanya
membisu seperti patung. Kulihat pandangan matanya hanya tertuju pada satu titik.
Ku coba telusuri apa yang sudah ibu lihat di balik pagar tinggi yang berada di
depan kami ini.
Laki-laki itu berumur sekitar 60 tahun. Badannya masih tegap, memiliki mata
yang tajam, dan rambut ikal. Seperti seorang raja, dia berdiri dengan gagah
sambil memegangi sebuah koran pagi. Ia memandangi kami berdua yang sedang
berdiri di luar pagar dengan lekat. Kulihat ia tersenyum dan kemudian
menyeringai. Kutafsirkan itu adalah sebuah seringai kemenangan. Melihat hal itu
mendadak hatiku menjadi ciut.
Badan ibu kurasakan semakin bergetar. Tangannya pun mulai basah.
Tanpa di duga laki-laki yang katanya kakekku itu tiba-tiba masuk ke dalam
rumah. Meninggalkan kami berdua dalam keheninan yang mematikan. Seorang
perempuan separuh baya dengan pakaian yang sederhana berlari-lari kecil ke arah
kami dan kemudian membukakan pagar. Ku lihat perempuan itu menyimpan kerinduan
yang teramat dalam terhadap ibuku. Namun ia tak berkata apa-apa. Ada perasaan
takut yang kuat sedang menyelimuti dirinya.
Saat kami mulai mendekati pintu utama, tiba-tiba perempuan setengah baya
itu berkata, ”Maaf Non, tadi tuan berpesan yang boleh masuk ke dalam hanya Non
saja. Sedang anak yang bersama Non ini hanya bisa menunggu di luar.” Mendengar
hal itu, ibu menghentikan langkah kakinya dan memberikan isyarat kepadaku agar
menunggu. Betapa sakit hatiku mendapat perlakukan seperti itu. Aku ternyata
seorang cucu yang tidak diharapkan keberadaannya. Di tengah rasa sakit hatiku,
aku pun mencoba sabar untuk menunggunya.
Sudah sekitar setengah jam aku menunggu ibu. Namun ia tak juga muncul dari pintu. Ku coba menajamkan telinga berharap ada
sesuatu yang bisa aku dengar. Namun sia-sia. Di tengah-tengah usahaku mencuri
dengar, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu dengan kasar. Aku terkejut,
ternyata orang itu tak lain adalah ibu. Tanpa mempedulikan keterkejutanku,
sambil menangis ibu menarik kedua lenganku untuk segera meninggalkan rumah
megah milik orang kaya itu yang tak lain adalah kakekku sendiri. Aku tahu, ibu
pasti mendapatkan hinaan dari kakek. Sehingga membuat hatinya terluka.
Saat itu hari sudah mulai beranjak senja. Di kejauhan kulihat beberapa
tetangga berkerumun di depan rumah. Salah seorang tetangga menangkap kehadiran
kami. Ia kemudian terburu-buru menghampiri kami. Dari mulutnya, sebuah kabar
buruk mampir di telinga. Bapak meninggal setelah beberapa saat kami pergi untuk
menemui laki-laki yang tidak pernah mengakui keberadaan kami. Belum juga reda
tangis ibu karena mendapat hinaan dari kakek, ia mendapat pukulan yang teramat
besar lagi dalam hidupnya. Selama
ini, ibu tidak pernah tinggal jauh dari bapak. Namun bapak meninggal di saat
ibu tidak ada. Hal ini membuat ibu semakin terpuruk. Aku hanya bisa memeluknya,
berusaha menegarkan hati.
* * *
Akhirnya aku sampai juga di depan rumah setelah hampir tiga jam lamanya aku
terombang-ambing dalam angkutan umum. Rumah itu terlihat lebih asri dari empat
tahun yang lalu. Cat rumahnya juga masih terlihat baru. Ah ibu, aku sudah tidak
sabar untuk berjumpa denganmu. Setengah berlari aku menuju pintu rumah sambil
berteriak-teriak memanggil ibu. Tiba-tiba seorang perempuan muda membukakan pintu. Langkahku pun terhenti. Seperti menangkap keherananku,
perempuan muda itu pun tersenyum.
”Adik anaknya ibu Karin yang kuliah di Bandung itu ya?”
”Iya. Mbak siapa?” tanyaku heran.
”Nama mbak, Linda. Mbak penghuni baru rumah ini. Ibu adik sudah menjualnya
pada mbak empat tahun yang lalu. Sekarang ibu Karin sudah pindah ke rumah kontrakannya
Pak Haji Soleh. Adik tahu kan tempatnya?”
Mendengar perkataan perempuan muda itu, pikiranku menjadi kacau. Ternyata
selama ini untuk membiayai kuliahku, ibu menjual rumah yang menjadi peninggalan
bapak satu-satunya. Tanpa menghiraukan pertanyaan dari mbak tadi, aku berlari
sekuat tenaga menuju rumah kontrakan pak haji ditemani tumpahan air mata yang
membanjiri kedua pipi.
Rumah kecil itu berjajar dengan rumah kontrakan lainnya. Aku melihat ibu
sedang mengambil nampan berisi kerupuk yang sudah dijemurnya. Ia memakai daster
lengan panjang berwarna biru dengan motif bunga-bunga yang sudah mulai lusuh. Rambutnya
diikat ala kadarnya. Kecantikannya yang
dulu kini mulai memudar dimakan beban berat yang menimpa hidupnya. Mendapati kenyataan
itu, tanpa menunggu lama lagi aku menghambur menuju ibu. Ibu terkejut saat
mendapati keberadaanku. Kupeluk kedua kakinya dan memohon ampun. Di sela isak
tangis yang tak bisa lagi kuredam, aku mempertanyakan mengapa ibu melakukan
semua ini demi aku.
Setelah ibu menyimpan nampan yang tadi dipegangnya, ia kemudian mengangkat
wajahku.
”Tidak. Ibu melakukan semua ini tidak hanya demi kamu, tapi demi ibu,
bapak, dan adikmu. Bukankah sudah pernah ibu katakan dulu?” Aku menjawabnya
dengan sebuah anggukan.
”Aku berjanji bu, dengan ijazah yang kumiliki ini, aku akan berusaha
membahagiakan ibu dan Lastri. Aku akan memberikan semua yang dulu pernah bapak
berikan dan jika Tuhan menghendaki, aku akan memberikannya lebih baik.”
Mendengar hal itu, ibu memelukku dengan
erat. Aku rasakan tubuhnya bergetar. Aku teringat getaran tubuh itu sama dengan
getaran tubuh saat kami berdua sedang berdiri di luar pagar rumah mewah milik
kakekku waktu itu. Itu adalah luapan kerinduan yang tertahan selama
bertahun-tahun.
Comments
Post a Comment