CERPEN "LELAKI YANG MENDERITA BILA DIPUJI" KARYA AHMAD TOHARI

  LELAKI YANG MENDERITA BILA DIPUJI Karya : Ahmad Tohari Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang bila dipuji. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, “Ini Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang.” Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, “Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar. Berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar.” Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, “Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri.” Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. “Kalau bukan Pak Mardanu

CERITA PENDEK


Janjiku
                                                                                                oleh     : Ai Umay Nurjanah

            Terik matahari membakar ubun-ubun. Pantulan sinarnya yang panas dari aspal serasa menampar-nampar wajahku. Sekuat tenaga kuseret kedua kakiku yang perih dan kupandangi sepatu hitam usang yang membungkus kedua kaki itu lekat-lekat. Terbayang di pelupuk mata, jemari-jemari kakiku sudah memerah tanpa ampun, berontak mencari kebebasan.
Perjalananku kali ini memang sangat banyak menyita waktu dan tenaga. Bagaimana tidak? Untuk bisa sampai ke kota Sukabumi ini, aku harus menempuh perjalanan dengan rela terombang-ambing di bus ekonomi yang penuh sesak. Selain itu, aku juga harus naik angkutan umum dengan menempuh medan yang cukup berat untuk sampai ke tempat tujuanku, karena rumahku berada di  Sukabumi bagian selatan. Jaraknya kurang lebih 80 km lagi dari kota. Namun meski lelah, aku harus tetap melangkah. Itu karena hari ini aku akan menemui ibuku, setelah empat tahun lamanya kutinggalkan demi meraih cita-cita untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.
Bukannya selama empat tahun ini aku tak ingin pulang, tapi ibu selalu saja melarang. Dia hanya berpesan agar aku belajar dengan baik, lulus cepat, dan mengantongi ijazah dengan mendapatkan nilai yang bagus. Tidak boleh pulang atau pun minta dijenguk sampai tamat kuliah. Dan aku pun menurutinya. Karena ibu paling tidak suka dibantah.
Tak terasa waktu pun terus saja berjalan, hingga mengantarkanku ke penghujung tahun ini. Kini aku telah tamat kuliah. Ku pegang erat-erat ijazah yang ada di balik tas coklat berumbai-rumbai itu (hadiah terakhir yang diberikan bapak untukku sebelum dia meninggal). Betapa bahagianya aku saat membayangkan wajah ibu yang tersenyum manis saat kuperlihatkan ijazahku ini. Teringat ibu, aku mempercepat langkah kaki. Tak peduli dengan terik matahari yang semakin membakar ubun-ubun ataupun jemari kaki yang lecet memerah kena sepatu. Aku harus cepat-cepat menemukan angkutan umum.
***
            Lewati perjalanan, naik gunung turun gunung. Jalan meliuk-liuk seperti ular. Tak ada satu pun yang berubah. Bahkan jalanan rusak penuh lubang yang pernah kulewati empat tahun yang lalu itu masih tetap sama, membuatku beberapa kali sedikit terlempar dari kursi. Kebun teh, pohon pinus dan pohon karet saling berkejaran. Ku dengar ada bunyi burung tuit di tepi hutan, entah bertengger di ranting karet yang mana. Menyeret ingatanku ke masa empat tahun yang lalu saat aku berada di penghujung kelas 3 SMA. Samar-samar kudengar kembali suara berat ibuku waktu itu.
” Kamu harus kuliah, Nur!” Ku tatap wajah ibu, ia tidak melihatku sama sekali. Sibuk dengan bawang merah yang sedang digorengnya.
” Tidak usah bu, Nur membantu ibu berjualan saja.”
Tiba-tiba ibu memadamkan api. Setengah loncat, ia menghampiri dan menatapku lekat-lekat. Sambil memegangi wajahku, ia berkata, ” Tidak. Apapun yang terjadi kau harus kuliah. Itu yang diinginkan bapakmu saat dia masih hidup. Mengerti?” Aku terkesima mendengar perkataan ibu. Tak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu. Ku telusuri mata ibu dalam-dalam. Ada samudera keteguhan di sana yang tak mungkin tergoyahkan lagi. Namun, kulihat juga ada gumpalan sedih yang membisu di ujung samudera itu. Ku pegang kedua telapak tangan ibu yang menempel di pipi. Kemudian kubimbing mereka ke atas pangkuanku untuk menenangkannya.
” Uang darimana Bu? Biaya kuliah itu tidak sedikit, sedangkan kita tidak punya apa-apa lagi setelah bapak meninggal, kita tidak akan mampu melewatinya Bu. Sekarang biarkan Nur membantu ibu berjualan saja. Nur akan... 
” Kamu jangan khawatir. Ibu akan mengusahakannya. Yang penting kamu belajar saja. Lulus tes ujian masuk perguruan tinggi negeri. Bukankah waktu itu kamu juga pernah bilang ingin menjadi seorang guru? Masalah uang serahkan pada ibu.” Kata-kata ibu membuat darahku tiba-tiba berdesir. Ya, itu memang cita-citaku. Tapi itu saat bapak masih hidup dan punya penghasilan cukup. Sekarang, bagaimana mungkin ibu bisa menutupi kebutuhan kuliahku nanti dengan penghasilan yang pas-pasan dari hasil jualan nasi uduk? Apalagi dengan kebutuhan adikku Lastri yang sekarang ini duduk di bangku SMP kelas 1. Tergambar jelas dalam benakku ibu akan bersusah payah membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya kuliahku nanti. Aku tidak mau. Aku tidak ingin melihat ibu berusaha tersenyum di balik wajah letihnya itu lagi. Menanggung segala susah setelah bapak meninggal. Dengan jerih payahku aku ingin membantu ibu meringankan beban yang selama ini ia tanggung sendiri. Aku ingin melihat ibu tersenyum bahagia seperti dulu. Namun, saat mulutku hendak terbuka, ibu buru-buru beranjak pergi. Sambil berlalu ia berkata, ” Jangan membantah! Lakukan ini demi ibu, bapak dan adikmu!”
Saat itu, aku tak mampu berkata-kata lagi. Hanya diam membisu menatap kepergian ibu. Ia kemudian meneruskan menggoreng bawang merah untuk berjualan nasi uduk esok nanti. Kulihat pundaknya sedikit bergetar. Kutahu ibu menyimpan kepedihan yang teramat dalam di hatinya. Tak kusadari, mataku pun mulai basah.
***
Ini adalah cerita lama. Kutahu karena semua orang pun tahu. Dulu ibu adalah anak orang kaya. Bapaknya punya lahan ratusan hektar. Sebagian pohon pinus dan pohon karet di pinggir jalan yang kulewati tadi konon punya bapaknya yang tak lain adalah kakekku. Ibuku mempunyai empat orang saudara, yang saat ini pun sudah kaya raya. Hanya ibu yang hidup pas-pasan. Setelah ibu memilih bapakku sebagai suaminya, ia dibuang oleh kakekku yang kaya itu. Pernikahan mereka memang tidak mendapatkan restu dari kakek.  Alasannya sangat klise, bapakku dianggap tidak sederajat dengan ibu. Karena ia pemuda miskin yang hanya berasal dari keluarga petani biasa. Tapi hal itu tidak menyurutkan keteguhan hati ibu. Demi cintanya pada bapak, ia meninggalkan segala kemewahan yang diberikan keluarganya. Setelah berkeluarga, bapak dan ibu bahu membahu membuka usaha di pasar, dengan sedikit modal mereka menjual sayur-mayur. Saat itu bapak belum punya kios, mereka berjualan ngampar di pinggir jalan depan pasar. Namun karena tekad dan kerja keras, akhirnya usaha bapak mengalami kemajuan. Hingga kehidupan kami pun sedikit demi sedikit mulai membaik. Dari hasil berjualan sayuran itu, bapak akhirnya bisa membeli kios yang layak di dalam pasar dan memberikan kami rumah. Setelah hampir sepuluh tahun lamanya kami tinggal di rumah panggung milik orang tua bapakku. Saat itu aku sangat bahagia karena memiliki rumah baru yang tidak lagi berlantaikan papan.
Kebahagiaan kami saat itu memang tak bisa kugambarkan lagi dengan kata-kata. Karena yang paling kuinginkan di dunia ini aku sudah miliki semuanya. Ada bapak dan ibu yang menyayangiku dan ada adik yang aku kasihi. Kami semua saling mencintai. Tak pernah sekalipun kudengar pertengkaran di rumah, yang ada hanyalah gelak tawa dan bahagia. Mungkin seperti itulah rasanya surga.
Dari tahun ke tahun usaha bapakku  semakin mengalami kemajuan. Karena doa dan kerja kerasnya, bapak akhirnya bisa membeli kendaraan bermotor roda dua dan empat, juga beberapa petak sawah di beberapa tempat. Tentu saja kami sekeluarga senang dengan semua ini. Namun tidak bagi yang lain. Mendadak bapakku jatuh sakit setelah semalaman ia terus mengigau karena mendapat mimpi aneh. Aku tahu karena paginya bapak bercerita kalau di mimpinya ada harimau betina bertanduk hitam yang sudah akan menerkamnya dengan mata merah yang menyala. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas 1 SMA. Aku tidak percaya mimpi. Karena bagiku mimpi hanyalah bunga tidur. Namun sejak bapak mendapat mimpi aneh itu, setiap malam bapak tidak bisa tidur dan selalu demam tinggi. Akhirnya ibu membawa bapak ke rumah sakit terdekat. Dari hasil pemeriksaan dokter, bapakku ternyata tidak mengidap penyakit apa pun. Dokter menyatakan ia sehat. Hal ini yang membuat kami kebingungan.  
Sepulang dari rumah sakit, keadaan bapak semakin parah. Karena itu, akhirnya kami pergi ke rumah sakit yang ada di kota. Berharap ada keajaiban di sana. Berbeda dengan rumah sakit yang dulu, dokter mendiagnosis bapakku mengidap penyakit flu tulang. Entah apa maksudnya itu. Sudah puluhan kali kami pulang pergi ke sana, namun ternyata hasilnya tetap saja sama. Malah bapakku tak bisa menggerakkan lagi kedua kakinya. Hal ini membuat kami semua gelisah. Penyakit bapak yang tak bisa disembuhkan pun tersebar kemana-mana. Tetanggaku menyarankan untuk pergi ke orang pintar.  Tentu saja hal ini awalnya ditolak mentah-mentah oleh ibu. Karena hal itu bertentangan dengan keyakinan kami. Namun karena segala usaha ibu pergi ke dokter tidak membuahkan hasil, akhirnya kami mencoba juga saran dari tetanggaku itu.
Orang pintar itu tinggal di atas bukit. Untuk bisa sampai ke rumahnya, kami harus berjalan sekitar 7 km dari jalan utama. Melewati jalan setapak  yang dipenuhi batu cadas terjal.  Menurut orang pintar yang kami temui, ternyata bapak telah diguna-guna oleh orang yang iri terhadap keberhasilan bapak selama ini. Untuk bisa sembuh, ibu harus mandi kembang 7 rupa pada tengah malam, menyerahkan rokok, kopi pahit, ayam kampung berwarna hitam dan segala tetek bengeknya, kepada orang pintar itu untuk diberi mantra. Meski aku tak setuju dengan apa yang sudah dilakukan ibu, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Hari itu juga ibu memenuhi persyaratan dari mbah dukun. Esoknya bapakku malah muntah darah. Akhirnya ibu membawa bapak lagi ke dokter.
Kini hampir dua tahun bapakku sakit. Segala cara sudah kami lakukan. Ke dokter, minum berbagai ramuan jamu, orang pintar, kiyai, sampai pengobatan alternatif sudah kami lakukan. Semua harta yang pernah kami miliki sebelumnya, akhirnya terpaksa ibu jual demi kesembuhan bapak. Yang tersisa hanyalah rumah yang jadi tempat bernaung kami sekeluarga saat ini. Namun bapak belum juga sembuh. Dari hari ke hari kondisi badannya menurun drastis. Saat itu ibu putus asa. Kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Jangankan untuk pergi berobat, untuk makan sehari-hari saja sudah terasa sulit. Minta bantuan kakek nenek dari pihak bapak tidak mungkin, karena mereka pun sama-sama hidup prihatin. Akhirnya ibu memberanikan diri pulang ke rumahnya, setelah belasan tahun ia tinggalkan.
Pagi-pagi sekali, bersama dengan ibu, aku pergi menemui kakek. Ternyata rumah kakekku tidaklah terlalu jauh, tepat berada di Pelabuhan Ratu.  Hanya menempuh perjalanan sekitar dua jam, kami sudah bisa sampai ke rumahnya. Rumah itu nyaris seperti istana. Amat megah. Namun begitu angkuh. Ibu menggenggam tanganku, kurasakan badannya bergetar. Ku coba kuatkan dirinya dengan melemparkan senyum, namun sia-sia. Ia hanya membisu seperti patung. Kulihat pandangan matanya hanya tertuju pada satu titik. Ku coba telusuri apa yang sudah ibu lihat di balik pagar tinggi yang berada di depan kami ini.
Laki-laki itu berumur sekitar 60 tahun. Badannya masih tegap, memiliki mata yang tajam, dan rambut ikal. Seperti seorang raja, dia berdiri dengan gagah sambil memegangi sebuah koran pagi. Ia memandangi kami berdua yang sedang berdiri di luar pagar dengan lekat. Kulihat ia tersenyum dan kemudian menyeringai. Kutafsirkan itu adalah sebuah seringai kemenangan. Melihat hal itu mendadak hatiku menjadi ciut. Badan ibu kurasakan semakin bergetar. Tangannya pun mulai basah.
Tanpa di duga laki-laki yang katanya kakekku itu tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Meninggalkan kami berdua dalam keheninan yang mematikan. Seorang perempuan separuh baya dengan pakaian yang sederhana berlari-lari kecil ke arah kami dan kemudian membukakan pagar. Ku lihat perempuan itu menyimpan kerinduan yang teramat dalam terhadap ibuku. Namun ia tak berkata apa-apa. Ada perasaan takut yang kuat sedang menyelimuti dirinya.
Saat kami mulai mendekati pintu utama, tiba-tiba perempuan setengah baya itu berkata, ”Maaf Non, tadi tuan berpesan yang boleh masuk ke dalam hanya Non saja. Sedang anak yang bersama Non ini hanya bisa menunggu di luar.” Mendengar hal itu, ibu menghentikan langkah kakinya dan memberikan isyarat kepadaku agar menunggu. Betapa sakit hatiku mendapat perlakukan seperti itu. Aku ternyata seorang cucu yang tidak diharapkan keberadaannya. Di tengah rasa sakit hatiku, aku pun mencoba sabar untuk menunggunya.
Sudah sekitar setengah jam aku menunggu ibu. Namun ia tak juga muncul dari pintu. Ku coba menajamkan telinga berharap ada sesuatu yang bisa aku dengar. Namun sia-sia. Di tengah-tengah usahaku mencuri dengar, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu dengan kasar. Aku terkejut, ternyata orang itu tak lain adalah ibu. Tanpa mempedulikan keterkejutanku, sambil menangis ibu menarik kedua lenganku untuk segera meninggalkan rumah megah milik orang kaya itu yang tak lain adalah kakekku sendiri. Aku tahu, ibu pasti mendapatkan hinaan dari kakek. Sehingga membuat hatinya terluka.
Saat itu hari sudah mulai beranjak senja. Di kejauhan kulihat beberapa tetangga berkerumun di depan rumah. Salah seorang tetangga menangkap kehadiran kami. Ia kemudian terburu-buru menghampiri kami. Dari mulutnya, sebuah kabar buruk mampir di telinga. Bapak meninggal setelah beberapa saat kami pergi untuk menemui laki-laki yang tidak pernah mengakui keberadaan kami. Belum juga reda tangis ibu karena mendapat hinaan dari kakek, ia mendapat pukulan yang teramat besar lagi dalam hidupnya. Selama ini, ibu tidak pernah tinggal jauh dari bapak. Namun bapak meninggal di saat ibu tidak ada. Hal ini membuat ibu semakin terpuruk. Aku hanya bisa memeluknya, berusaha menegarkan hati.
* * *
Akhirnya aku sampai juga di depan rumah setelah hampir tiga jam lamanya aku terombang-ambing dalam angkutan umum. Rumah itu terlihat lebih asri dari empat tahun yang lalu. Cat rumahnya juga masih terlihat baru. Ah ibu, aku sudah tidak sabar untuk berjumpa denganmu. Setengah berlari aku menuju pintu rumah sambil berteriak-teriak memanggil ibu. Tiba-tiba seorang perempuan muda membukakan pintu. Langkahku  pun terhenti. Seperti menangkap keherananku, perempuan muda itu pun tersenyum.
”Adik anaknya ibu Karin yang kuliah di Bandung itu ya?”
”Iya. Mbak siapa?” tanyaku heran.
”Nama mbak, Linda. Mbak penghuni baru rumah ini. Ibu adik sudah menjualnya pada mbak empat tahun yang lalu. Sekarang ibu Karin sudah pindah ke rumah kontrakannya Pak Haji Soleh. Adik tahu kan tempatnya?”
Mendengar perkataan perempuan muda itu, pikiranku menjadi kacau. Ternyata selama ini untuk membiayai kuliahku, ibu menjual rumah yang menjadi peninggalan bapak satu-satunya. Tanpa menghiraukan pertanyaan dari mbak tadi, aku berlari sekuat tenaga menuju rumah kontrakan pak haji ditemani tumpahan air mata yang membanjiri kedua pipi.  
Rumah kecil itu berjajar dengan rumah kontrakan lainnya. Aku melihat ibu sedang mengambil nampan berisi kerupuk yang sudah dijemurnya. Ia memakai daster lengan panjang berwarna biru dengan motif bunga-bunga yang sudah mulai lusuh. Rambutnya  diikat ala kadarnya. Kecantikannya yang dulu kini mulai memudar dimakan beban berat yang menimpa hidupnya. Mendapati kenyataan itu, tanpa menunggu lama lagi aku menghambur menuju ibu. Ibu terkejut saat mendapati keberadaanku. Kupeluk kedua kakinya dan memohon ampun. Di sela isak tangis yang tak bisa lagi kuredam, aku mempertanyakan mengapa ibu melakukan semua ini demi aku.

Setelah ibu menyimpan nampan yang tadi dipegangnya, ia kemudian mengangkat wajahku.
”Tidak. Ibu melakukan semua ini tidak hanya demi kamu, tapi demi ibu, bapak, dan adikmu. Bukankah sudah pernah ibu katakan dulu?” Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan.
”Aku berjanji bu, dengan ijazah yang kumiliki ini, aku akan berusaha membahagiakan ibu dan Lastri. Aku akan memberikan semua yang dulu pernah bapak berikan dan jika Tuhan menghendaki, aku akan memberikannya lebih baik.” Mendengar hal itu, ibu  memelukku dengan erat. Aku rasakan tubuhnya bergetar. Aku teringat getaran tubuh itu sama dengan getaran tubuh saat kami berdua sedang berdiri di luar pagar rumah mewah milik kakekku waktu itu. Itu adalah luapan kerinduan yang tertahan selama bertahun-tahun.

Comments

Popular posts from this blog

KAIDAH KEBAHASAAN TEKS ANEKDOT

Kaidah Kebahasaan Teks Drama

LATIHAN SOAL PAS SEM 1