CERPEN "ROBOHNYA SURAU KAMI" KARYA A.A. NAVIS
- Get link
- X
- Other Apps
Robohnya Surau Kami
Karya : A.A. Navis
Dan di
pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di
sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek.
Sebagai
penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari
hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia
lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah
minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan
pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling
sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat
bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan
kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan
datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya.
Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya.
Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak
memelihara apa yang tidak dijaga lagi.
Dan biang
keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali
hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia
duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke
depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu
yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau
cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek
begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.
Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo
Sidi.”
“Ajo
Sidi?”
Kakek tak
menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu
dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi
bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi
ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual,
sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya
menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada
saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku
ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan
kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti
katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba
aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi
telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek?
Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo
Sidi.”
“Kurang
ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan
pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”
“Kakek
marah?”
“Marah?
Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal
kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin
tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi
Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah
berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku,
bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa
yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua
pekerjaanku?”
Tapi aku
tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya,
dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
Ketika
Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu,
Kek?”
“Ia tak
mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku
melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku
menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
Pada
suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di
tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang
yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang
yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu
tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam
surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan
menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka,
bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk
ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut
di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala
sifat-Nya.
Akhirnya
sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku
Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku
tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya,
Tuhanku.’
‘Apa
kerjamu di dunia?’
‘Aku
menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Setiap
hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Ya,
Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,
menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji
Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan.
Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang
belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya.
Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan
kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh.
Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa
panas neraka itu.
‘Lain
lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah
hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat
lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi
Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
O, o,
ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah
kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh
tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya,
itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk
kamu.’
Dan
malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak
mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan
daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
‘Bagaimana
Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.
Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami
juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak
kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.
‘Ini
sungguh tidak adil.’
‘Memang
tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau
begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita
harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar.
Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau
Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita
protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita
revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu
tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok
sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’
sebuah suara menyela.
‘Setuju.
Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu
mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan
bertanya, ‘Kalian mau apa?’
‘Kalian
di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini
adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di
negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya,
benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya
yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?’
‘Benar.
Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah
mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di
negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar.
Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di
negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya.
Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri
yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya,
Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan
hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di
negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Engkau
rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar.
Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena
kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguh
pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi
seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada,
Tuhanku.’
‘Kalau
ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka.
Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau
kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk
neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!’
Semua
menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa
jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah
yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani
bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka
itu.
‘Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah
cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan
besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk.
“Siapa
yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek?”
“Ya. Tadi
subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia
menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga!
Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari
Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.
“Ia sudah
pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia
tahu Kakek meninggal?”
“Sudah.
Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke
mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?”
tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia
pergi kerja.”[]
[Dinukil dari AA Navis, Robohnya Surau Kami,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 1-14.]
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment